Saturday, 12 July 2008

Makna dan Karakteristik Iman Dalam Islam

Makna dan Karakteristik Iman Dalam Islam
Risalah Pengajian Sabtu Pagi

Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.

Pengertian iman; etimologis dan terminologis

Secara etimologis, iman berarti membenarkan dengan hati. Adapun secara istilah syar’iy, Al-Imam Ibnu Taymiyah, dalam kitabnya Al-Iman, menukil beberapa definisi “iman” yang dipahami oleh generasi Salaf. Diantaranya sebagai berikut; ونية الإيمان قول وعمل”(iman ialah perkataan, perbuatan dan niat). Penyebutan kata ‘niat’ secara eksplisit bermaksud untuk menjelaskan bahwa tidak semua perbuatan selalu dipahami sebagai “niat”. Sebagian yang lain berpendapat “وعمل ونية واتباع السنة الإيمان قول (iman ialah perkataan, perbuatan, niat dan mengikuti sunnah). Di sini secara tegas disebutkan “ Ada pula yang mengatakan “قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح” (iman ialah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan perbuatan dengan organ tubuh). Agar lebih jelas, ada baiknya kita nukil jawaban Sahl Ibnu Abdillah Al-Tastury, ketika beliau ditanya tentang iman. Beliau menjawab demikian :

"قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّـةٌ وَسُنَّـةٌ، اْلإِيْمَانُ إِذَا كَانَ قَوْلاً بِلاَ عَمَلٍ فَهُوَ كُفْـرٌ، وَإِذَا كَانَ قَوْلاً وَعَمَلا ًبِلاَ نِيَّـةٍ فَهُوَ نِفَاقٌ، وَإِذَا كَانَ قَوْلاً وَعَمَلاً بِلا َسُنَّـةٍ فَهُوَ بِدْعَـةٌ"[1]

(Iman ialah perkataan, perbuatan, niat dan sunnah. Iman, jika hanya perkataan tanpa perbuatan maka itu kekufuran; jika hanya perkataan dan perbuatan tanpa disertai dengan niat maka itu kemunafikan; jika hanya perkataan dan perbuatan tanpa mengikuti sunnah maka itu adalah bid’ah)

Al-Imam Syafi’i rahimahullah meriwayatkan ijma’ para sahabat, tabi’in dan mereka yang sezaman dengan beliau tentang pengertian iman sebagai berikut :

تَصْدِيْقٌ بِاْلقَلْبِ, وَإِقْـرَارٌ بِالِّلسَانِ, وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ[2]

Maksudnya “membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan organ tubuh”. ‘Tashdiqun bi al-qalbi’ yaitu meyakini dan menerima segala apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. ‘Iqrar bi al-lisan’, mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat). ‘Amalun bi al-arkan’ berarti hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, dan organ tubuh yang lainnya mengamalkan dalam bentuk ibadah praktis individu dan social, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Pemaknaan iman terbaca di atas sama sekali berbeda dengan kaum Murjiah yang menyatakan iman hanyalah keyakinan atau perbuatan hati semata, tanpa aktualisasi kongkret.[3] Mereka populer dengan doktrin ”لاتضر مع الإيمان معصية كما لا تنفع مع الكفر طاعة [4](derajat keimanan tidak akan berkurang karena laku maksiat, sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT tidak akan mempengaruhi kekufuran). Kaum Murjiah dengan varian yang lain, Al-Karamiyah, menyatakan iman ialah pernyataan lisan semata. Yang lain, versi Murjiah Fuqaha’, menyatakan, iman cukup dengan keyakinan hati dan pernyataan verbal. Ketiga rumusan Murji’ah tersebut bermuara pada satu kesimpulan, mereka tidak memerlukan amal sebagai aktualisasi kongkret keimanan yang bersemayam di hati manusia.

Iman Bertambah dan Berkurang

Seperti terbaca di atas, iman dalam pemahaman generasi salaf menjadikan tiga dimensi iman menjadi satu kesatuan yang utuh, tidak boleh dipisah-pisahkan. Di sini dapat dipahami bahwa ‘amal (perbuatan hati dan organ tubuh) menjadi bagian tak terpisahkan dari pemaknaan iman itu sendiri. Oleh karena itulah, iman akan bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Konsep fluktuasi atau naik-turunnya iman dapat kita cermati pada surat Al-Anfal 2-4 berikut :

{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ}

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfal :2-4)

Demikian pula hadis-hadis Nabi SAW di bawah ini :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Dari sahabat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama ialah perkataan ‘tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT’ dan yang terendah ialah menyingkirkan rintangan atau kotoran dari jalan, sedang rasa malu itu juga merupakan salah satu cabang iman.[5]

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudry RA, Rasulullah SAW bersabda:”Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan yang demikian itu ialah selemah-lemahnya iman.”[6]

Karakteristik Iman dalam Islam

Segala sesuatu memiliki ciri khas sendiri yang membedakannya dengan yang lain, termasuk dalam perkara iman dan keyakinan beragama. Kaum musyrikin mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk pemujaan benda-benda alam di atas fungsi yang semestinya. Orang-orang ateis mendewakan paham anti eksistensi Allah SWT. Kaum sekuler mempertuhankan dikotomi dunia-akherat, Tuhan-manusia. Penganut Rasionalisme memuja akalnya. Pengikut Liberalisme menyanjung kebebasan tanpa batas dan anti hukum Allah SWT. Pemeluk Komunisme memegang erat doktrin pertarungan antar kelas yang mutlak sebagaimana penganut Kapitalisme yang memuja keunggulan individu atas segalanya.

Demikian pula kita, umat yang menyatakan “radlitu billahi Rabban, wa bil-Islami dinan, wa bi Muhammadin nabiyya wa rasula”, memegang teguh ajaran tauhid yang kita wujudkan dalam kehidupan nyata dalam rumusan “inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabbil-‘alamin.” Sistem iman dalam Islam mengajarkan kita untuk mempertahankan visi kehidupan, tidak saja di dunia, tapi jauh melintasi alam materi, kehidupan kekal di akherat. Islam menuntun kita untuk mendudukkan manusia pada dua dimensi sekaligus; jasmani dan ruhany, di saat isme-isme yang lain mengabaikannya dan kemudian mengantarkan pemeluk-pemeluknya kepada krisis kehidupan dan bahkan sampai pada kebinasaan.

Perbedaan khas di antara kelompok manusia di atas secara sederhana dapat kita katakan sebagai karakteristik atau keistimewaan. Dalam bahasa Arab hal ini disebut sebagai “khashaish”. Iman dalam ajaran din kita, Islam, mempunyai beberapa kistimewaan atau sifat dasar yang membedakannya dengan berbagai model dan sistem keyakinan dan ideologi lain. Pada risalah kecil ini saya sampaikan tiga karakteristik; “tawqifiyah” (meyakini sebatas yang diterangkan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW),ghaibiyah” (bersifat ghaib; tidak terindera) dan “syumuliyah” (integralitas/menyatunya dimensi substansi dan aplikasi).

§ Tawqifiyah (تَـوْقِـْيـقِـَّيةٌ)

Tawqifiyah dapat kita maknai sebagai meyakini perkara-perkara iman sebatas yang diterangkan Al-Qur’an dan Rasulullah SAW. Hal sedemikian, meskipun akal berpotensi untuk memahami dan menalar, tapi ia tak dapat berdiri sendiri dalam memahami dan menalar hakekat-hakekat keimanan secara detail dan terperinci. Dalam perkara keimanan seringkali terdapat muatan-muatan yang membingungkan dan akal tidak sanggup menalarnya. Namun di saat yang sama kita juga tidak menemukan alasan untuk menafikannya.

Tentang kehidupan alam kubur misalnya. Seringkali kita tidak mampu menalar dengan baik akan hakekat alam barzakh dan dua Malaikat Allah; Munkar dan Nakir. Keduanya diterangkan oleh Rasulullah sebagai juru tanya di alam kubur. Akal tidak dapat menjelaskan secara kongkret tentang keduanya, termasuk berbagai kenyataan (hakekat) yang akan kita alami di alam barzakh nanti. Kita tidak akan pernah memiliki pengalaman bertemu keduanya di dunia. Pada saat yang sama, kita yang belum mati saat ini, atau siapapun yang tidak meyakininya, tidak punya cukup alasan untuk menafikan keberadaannya karena ketiadaan data atau observasi ilmiah yang membuktikan atau memvisualisasikannya. Kita tidak akan pernah memegang data statistik tentang orang-orang yang telah mengalami kehidupan alam kubur yang kembali ke dunia, lalu mereka disurvei. Itu mustahil!.

Sampai di sini akal tidak dapat menjelaskan secara kongkret. Nah, untuk menjembatani dan mempertemukan kesenjangan antara kelemahan akal kita untuk menafikan dan hakekat alam barzakh, termasuk dua malaikat Munkar dan Nakir, Allah SWT mengajarkan kita tentang satu hal yang sangat penting dalam hidup ini : Al-Iman (keimanan).

Contoh lain. Tentang surga dan neraka, apakah benar adanya atau sekedar metaforis? Seorang pemikir muslim menyatakan, “Konsep surga dan neraka merupakan cara Tuhan untuk ‘memaksa’ hamba-hambaNya agar berbuat baik dan menjauhi kejahatan.” Yang lain berkata,”Kalaulah surga hanya seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an; ada sungai yang mengalir, pohon-pohon yang rindang, buah-buahan dll., maka saya tidak pernah bercita-cita masuk surga. Hal sedemikian karena memang Al-Qur’an diturunkan di gurun pasir yang tandus!.” Subhanallah!

Jika kita ingin menggali lebih jauh tentang pemikiran seperti itu, kita akan bertanya,”Tolong buktikan secara kongkret, dengan data-data ilmiah dan observasi autentik bahwa surga itu tidak ada, dan itu hanya bersifat metaforis?.”Kita yakin pemikir tersebut tidak akan dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Karena jelas, ia belum mati, sementara surga dan neraka akan kita ketahui di alam akherat nanti. Jadi, sesungguhnya antara orang yang meyakini adanya surga dan neraka, atau sebaliknya, menafikan keberadaannya sama sekali sama saja. Tidak ada bedanya, keduanya berdasarkan pada satu kata : “klaim”. Orang yang meyakini paling jauh dasar klaim mereka adalah “wahyu” dan bagi yang menolak landasan mereka adalah “akal”. Perlu kita tegaskan bahwa perkara keimanan adalah klaim yang hanya berdasarkan “wahyu”.

Mari kita perhatikan petunjuk Allah SWT kepada RasulNya SAW ketika ditanya tentang ruh :

{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا}

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[7]

Dalam ayat ini Rasulullah SAW diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjawab “"Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku!”. Penisbatan ruh kepada Allah SWT (أَمْرِ رَبِّي) menunjukkan kekhususanNya; ruh menjadi bagian dari IlmuNya yang dirahasiakan dan tidak kita ketahui. Selain itu, ayat ini mengandung larangan dan himbauan tegas agar kita tidak ngoyo dan membuang energi dalam membahas hakekat ruh yang memang berada di luar jangkauan dan otoritas akal. Bahkan melakukan hal sedemikian menurut para mufassir sebagai pembicaraan sia-sia yang tak mendatangkan manfaat agama ataupun keuntungan dunia. Bagaimana mungkin kita (pengikut para Nabi) dapat melakukan hal ini, sementara Allah SWT tidak pernah membuka tabir tentang ruh kepada Nabi-nabiNya, bahkan mereka tidak diizinkan untuk bertanya, tidak pula membahas tentang hakekat ruh.[8]

Betapa mulianya sikap para sahabat yang dengan penuh ketulusan menerima penjelasan Rasulullah SAW tentang seseorang yang telah dikuburkan. Tak seorangpun yang membantah ataupun meminta data observasi ilmiah sebagai bukti adanya alam kubur. Ada baiknya kita renungkan penjelasan Rasulullah SAW berikut ini :

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ قَالَ يَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ قَالَ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيُقَالُ لَهُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا".قَالَ قَتَادَةُ وَذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا وَيُمْلَأُ عَلَيْهِ خَضِرًا إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Sesungguhnya seorang hamba jika telah dibaringkan di dalam kuburnya dan ditinggalkan oleh para pengantarnya, sungguh dia akan mendengar suara ketukan sandal mereka.” Lanjut beliau, “Datang kepadanya dua malaikat, lalu keduanya mendudukkannya seraya bertanya : ‘Apa yang engkau katakan tentang orang ini?’. Adapun orang mukmin maka dia akan menjawab: ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan rasulNya’, Lalu dikatakan kepadanya :’lihatlah tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat duduk bagimu di surga!’ ”. Nabiyyullah bersabda,” Maka ia melihat keduanya.” Sahabat Qatadah (yang meriwayatkan hadis ini) berkata :”Dijelaskan pula kepada kami bahwa orang tersebut dilapangkan baginya di alam kubur seluas 70 hasta dan dipenuhi atasnya keni’matan yang segar hingga hari orang-orang dibangkitkan dari kuburnya.[9]

Saya teringat kisah Bapak Prof. Ahmad Mursyidi, ketua Forum Umat Islam (FUI) Yogyakarta, yang juga mantan rektor UMY. Pada general studium di Lembaga Pendidikan Insani Yogyakarta beliau bercerita begini. Suatu saat beliau berkunjung ke Amerika Serikat untuk mengikuti sebuah seminar. Di sela-sela kegiatan ilmiah tersebut beliau selalu istiqamah untuk menunaikan shalat. Salah seorang kolega beliau mengomentari kurang lebih begini,”Pak Mursyidi, saya lihat Anda sangat konsisten dengan ritual shalat. Saya boleh tau, kenapa ya?.” Prof. Ahmad Mursyidi dengan enteng menjawab, “Bung, saya ini ibarat seorang mahasiswa yang besok pagi masuk ujian. Cukup menjalankan perintah dosen untuk mempelajari materi perkuliahan yang telah diajarkan. Perkara besok, di saat ujian, yang saya pelajari itu keluar atau tidak: nothing to lost!. Lha, akan lebih repot lagi jika sejak awal saya bersikap apriori, tidak mau belajar. Dan ternyata ketika ujian apa yang dipesankan oleh dosen saya benar-benar ditanyakan. Saya tidak mau ambil resiko mas.”

Secara sederhana dapat kita nyatakan bahwa sikap Prof. Mursyidi pada cerita terbaca tadi sebagai sikap “iman” yang tidak perlu dirasionalkan, sebab ini perkara “tawqify”.

Barangkali, masih tersisa pertanyaan di benak kita masing-masing “mengapa harus demikian, bukankah kita diberi akal sebagai instrumen untuk memahami kehendak Tuhan?”. Tentunya percikan pemikiran seperti ini tidaklah salah. Pada batas tertentu barangkali wajar. Allah SWT berkehendak mengingatkan kita bahwa akal bukan segala-galanya. Akal manusia sangatlah terbatas. Oleh karena itu tidak perlu terlampau dipuja-puji, apalagi didewakan atau dipertu-hankan. Perhatikan dua ayat berikut ini :

{وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ}

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).[10]

{قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمْ مَنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ. وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ. وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآَنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

Katakanlah : "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tidaklah mungkin Al Quran Ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang Telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.”[11]

Di samping keterbatasan akal, ada dua hal yang perlu kita ingat :

Pertama : Allah SWT telah menyempurnakan agamaNya. Pun pula Rasulullah SAW telah menunaikan kewajiban beliau menyampaikan risalah Ilahiyah kepada kita, sehingga tidak satu bagian pun lepas dari penjelasan. Apalagi perkara-perkara iman yang menjadi fondasi din. Ini merupakan konsekuensi penyempurnaan Islam yang difirmankan oleh Allah SWT dalam ayat berikut :

{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}

“...Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...[12]

{فَلاَ وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[13]

Demikian pula sabda Rasululllah SAW :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّواْ بَعْدِي أَبَدًا، كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتيِ

“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya : Kitab Allah dan Sunnahku.[14]

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari keterbatasan akal kita serta kesempurnaan din sebagaimana di atas maka, kita wajib konsisten memaknai perkara-perkara keimanan sesuai dengan yang diterangkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian kita tidak diperkenankan secara syar’ie untuk menafsirkan “lafazh-lafazh” tentang keimanan kecuali dengan makna-makna yang diterangkan sendiri oleh Al-Qur’an dan Rasulullah SAW melalui hadisnya. Inilah yang disebut sebagai “tawqify”.

§ Ghaibiyah (غَيْـبِـيَّـةٌ)

Berasal dari kata “ghaib” yang secara harfiyah berarti sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera kita; tidak tercium, teraba, terasa ataupun terdengar. “Ghaibiyah”, dalam gramatika bahasa Arab dinisbatkan ke kata ini, “ghaib”. Dengan demikian ia berarti sesuatu yang dikategorikan “ghaib”, tidak tercium, tidak teraba, tidak terasa ataupun tidak terdengar.

Al-Qur’an menjelaskan, panca indera merupakan jendela akal kita untuk memperoleh pengetahuan.

{وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُـونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”[15]

Oleh karena itu, sesuatu yang tidak terobservasi oleh indera tentu tidak dapat pula dinalar oleh akal kecuali secara parsial dan tidak utuh, dengan cara menganalogikan yang “ghaib” dengan yang terindera. Namun demikian, tidak berarti semua muatan keimanan selalu tidak dapat ditangkap oleh akal ataupun indera kita. Allah SWT menegaskan bahwa salahsatu sifat yang paling menonjol pada diri orang yang bertaqwa ialah keimanannya yang teguh terhadap yang ghaib, seperti keterangan ayat ini :

{الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

Alif lâm mîm. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.[16]

Dr. Ibrahim Muhammad Ibn Abdullah Al-Buraykan, seorang pakar akidah di Kulliyat Al-Mu’allimin di Dammam, Kerajaan Arab Saudi menjelaskan hal ini. Menurut beliau, iman kepada yang ghaib merupakan spesifikasi fitrah manusia. Penalaran terhadap realitas fisik merupakan potensi yang sama-sama kita miliki, juga binatang. Bahkan penalaran metafisik merupakan instink yang melekat pada diri kita. Kini, hal ini disebut sebagai kuriositas, dorongan dan potensi keingin-tahuan. Potensi inilah yang menjadi factor pemicu penemuan-penemuan ilmiah, yang dengannya kita, manusia zaman modern, dapat menikmati berbagai kekeyaan alam.[17]

Mudahnya begini. Saat ini kita hidup di tengah realitas kehidupan yang sangat menakjubkan. Kita menikmati berbagai sarana kehidupan untuk menjadi hamba Allah yang baik sebagai hasil rekayasa canggih ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika realitas ini kita andaikan lima puluh tahun yang lalu, mungkin kita bergumam, “apa ya?”. Tentunya realitas saat ini menjadi sesuatu yang tak terbayangkan di masa itu. Artinya ia sesuatu yang “ghaib”.

Ilustrasi terbaca di atas menjelaskan tentang adanya konsep ghaib yang terikat, relative. Artinya, kegaiban yang belum kita temukan ataupun kita rasakan kecuali setelah Allah SWT mengizinkan kita menemukan dan merasakannya, sesuai dengan qadarNya. Coba kita renungkan lantunan munajat Nabi SAW dalam hadis di bawah ini :

ماَ أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَحُـزْنٌ ، فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنيِّ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتيِ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَلَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ اْلغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ اْلقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبيِ وَ نُوْرَ صَدْرِي وَ جَلاَءَ حَـزَنيِ وَذَهَابَ هَمِّي إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَحُـزْنَـهُ وَ أَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ نَتَعَلَّمُهَا ؟ فَقَالَ: بَلىَ يَنْبَغيِ لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا

Tidaklah samasekali seseoran dirundung kesedihan lalu ia berdo’a :”Ya Allah sungguh aku adalah hambamu, anak dari seorang hambaMu yang laki dan perempuan, diriku di genggamanMu, keputusanMu pasti berlaku atas diriku, taqdirMu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepadaMu dengan setiap nama agung yang Engkau miliki, yang Engkau sebut diriMu dengannya, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhlukMu, atau Engkau sebutkan dalam KitabMu, atau tetap Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib di sisiMu, jadikanlah ya Allah Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, jadikan ia cahaya dalam hatiku, yang melenyapkan rasa sedihku dan menghapus kegundahanku”, kecuali Allah SWT lenyapkan kegundahan dan kesedihan hatinya dan digantikan dengan kegembiraan. Ditanyakan kepada Rasulullah SAW, ‘apakah tidak sebaiknya kami mempelajarinya?’. Lalu beliau menjawab :”tentu saja, barang siapa mendengarnya hendaklah ia mempelajarinya!.”[18]

Tentang hadis ini, Dr. Al-Buraykan menjelaskannya sebagai berikut. Bahwa ada sesuatu yang sebelumnya masuk dalam wilayah ghaib kemudian diajarkan kepada kita. Ghaib semacam ini dapat disebut sebagai ‘ghaib nisbiy’ (kegaiban yang relatif). Maksudnya, bisa saja sesuatu tidak terindera (ghaib) bagi seseorang, namun tidak bagi yang lain.

Selain yang bersifat relatif, ada pula ghaib muthlaq (kegaiban yang absolut), yang mustahil kita indera karena ketiadaan sarana penalaran yang memadai. Ada tiga sarana untuk sampai kepada sebuah pengetahuan; panca indera dan berita (dari Allah dan RasulNya), kedua hal ini menjadi sumber pengetahuan rasional; analogi yang ghaib dengan yang nyata (syahadah). Inipun bertumpu pula pada panca indera, karena jelas tidak mungkin membandingkan sesuatu yang kedua-duanya, atau salah satunya tidak pernah terindera. Jika ketiga sarana pengetahuan tersebut terputus secara otomatis pengetahuan kitapun terputus. Itulah makna munajat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW “tetap Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib di sisiMu”. Inilah ghaib yang absolut, mutlak. Dalam artian, kegaiban yang tak mungkin dapat di nalar atau tidak mempunyai bentuk dalam nalar kita. Meskipun ketiadaan bentuk kongkritnya dalam nalar, tidak berarti ‘wujud’, keberadaannya dapat dinafikan.[19]

Contoh ghaib mutlaq (kegaiban yang absolut) dapat kita pahami pada ayat berikut ini :

{إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ}

Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[20]

Adapun ghaib nisbiy, kegaiban yang relatif dijelaskan oleh Allah SWT dalam ayat :

{الم. غُلِبَتِ الرُّومُ. فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ. فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ. بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ}

Alif lâm mîm. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi.Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, Karena pertolongan Allah. dia menolong siapa yang dikehendakiNya. dan dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.[21]

Bangsa Romawi adalah satu bangsa yang beragama Nasrani yang mempunyai Kitab Suci sedang bangsa Persia adalah beragama Majusi, menyembah api dan berhala (musyrik). kedua bangsa itu terlibat peperangan. Ketika tersiar berita kekalahan bangsa Romawi oleh bangsa Persia, Maka kaum musyrik Mekah menyambutnya dengan gembira Karena berpihak kepada orang musyrikin Persia, sedang kaum muslimin berduka cita karenanya. Kemudian turunlah ayat ini dan ayat yang berikutnya menerangkan bahwa bangsa Romawi sesudah kalah itu akan mendapat kemenangan dalam masa beberapa tahun saja. hal itu benar-benar terjadi. Beberapa tahun sesudah itu menanglah bangsa Romawi dan kalahlah bangsa Persia.[22]

Ketika ayat ini diturunkan, tak seorangpun sahabat Rasulullah SAW yang mengetahui tentang kemenangan orang-orang Romawi (beragama Nasrani). Barangkali berfikirpun tidak. Akan tetapi, ketika sejarah membuktikan berita Al-Qur’an tersebut, mereka sadar akan kebenaran wahyu.

Berikut beberapa kaidah dalam memahami perkara-perkara keimanan[23] :

· Apa yang kita dapat dengan indera, kita yakini adanya, kecuali bila akal kita mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman.

· Keyakinan, disamping diperoleh dengan menyaksikan langsung, bisa juga melalui berita yang bersumber pada seseorang yang diyakini kejujurannya/integritas moral.

· Kita tidak berhak memungkiri wujud sesuatu, hanya karena tidak dapat terjangkau dengan indera kita sendiri.

· Seseorang hanya bia mengkhayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.

· Akal hanya dapat menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu. (kita tidak dapat menunjukkan suatu negeri, dimana negeri tersebut tidak di darat, laut, udara dan tidak ada dimana-mana).

· Iman adalah fitrah dasar manusia, apapun agama, ideology dan mazhab yang kemudian diikutinya.

· Kepuasan material di dunia sangat terbatas

· Keyakinan akan hari kiamat adalah konsekwensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah SWT.

Dengan model atau kerangka penjelasan naqliyah (Al-Qur’an dan Sunnah) serta penalaran aqliyah (logika) tersebut, kita meyakini bahwa pengetahuan mutlak tentang perkara-perkara ghaib merupakan hak proregatif dan kekhususan bagi Allah SWT. Akal tidak memiliki otoritas untuk menjabarkannya secara gamblang dalam realitas kehidupan manusia. Dengan demikian, mencari-cari pengetahuan tentang yang ghaib merupakan kesia-siaan belaka, dan orang yang mengklaim memiliki pengetahuan tentang hal ini, tanpa merujuk kepada petunjuk Allah SWT dan rasulNya, dapat dinyatakan sebagai kedustaan belaka.

{وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ }

“...dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.”[24]

{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"[25]

Peringatan tegas Rasulullah SAW terhadap pelaku klenik, perdukunan dan sejenisnya dari klaim-klaim pengetahuan tentang yang ghaib terbaca pada hadis berikut ini :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ

“Barang siapa mendatangi seorang dukun atau peramal lalu ia percaya terhadap apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”[26]

§ Syumûliyah (شُّمُوْلِيَّـةٌُ)

Kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk meyakini dan mengamalkan Islam secara total, tidak boleh parsial. Totalitas keyakinan inilah yang menjadi pendorong utama kita dalam menunaikan segala amanah khilafah, pemakmuran bumi dalam bingkai ajaran Ilahiyah.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”[27]

Agar kita dapat menjalankan amanah ini dengan baik, Allah SWT menyediakan berbagai fasilitas dan instrumen berupa alam yang terhampar. Kita dianugerahkan potensi untuk mengelola alam ini sesuai dengan risalahNya, bukan untuk dieksploitasi. Tapi juga tidak untuk dipertuhankan. Relasi kita dengan seluruh alam dan potensi yang terpendam di dalamnya ialah hubungan pemanfaatan dan pendayagunaan agar kita hidup dengan baik, menunaikan amanah khilafah dengan paripurna.

{أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ}

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”[28]

Mari kita bandingkan, sekaligus kita renungkan ayat ini :

{تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ. الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ. ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ. وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ}

Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. Sesungguhnya kami Telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.”[29]

Lima ayat terbaca, mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang kurang dari penciptaan alam semesta. Bahkan, di sini Allah SWT menantang kita untuk terus menatap dan mencermati akankah ada sesuatu yang tidak beraturan. Bila kita mencoba mencari-cari celah kelemahan dalam struktur penciptaannya, kita hanya memperoleh keletihan di mata!

Barangkali, klimaks dari itu semua hati kita tertegun dan dengan nada bergetar penuh ketakutan terhadap keagungan Allah, kita berkata sebagaimana yang diajarkanNya:

{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ. رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ. رَبَّنَا وَآَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ}

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh Telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."[30]

Meskipun alam demikian tertata dan mengagumkan. Meskipun alam takkan dapat kita kalahkan di kala ia menunjukkan fenomena keagunganNya, kita, manusia ini, lebih mulia dan lebih terhormat dari alam itu sendiri. Karena ini adalah konsekuensi logis dari amanah khilafah yang telah kita emban. Bukankah amanah ini tak mampu diemban oleh ciptaan-ciptaan Allah selain kita?

{إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا}

“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”[31]

Oleh karena itulah, kelemahan fisik ketika berinteraksi dengan alam, tidak boleh menjadikan kita menghambakan diri kepada alam dan mempertuhankannya! Alam, tetaplah alam yang tercipta. Dia makhluq dan bukan Khaliq! Segenap hidup, mati, dan apa saja yang ada pada diri kita hanyalah diorientasikan kepadaNya :

{قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”[32]

Apa makna “syumuliyah” pada narasi terbaca di atas?

Syumuliyah”, dapat diartikan sebagai ‘integralitas’ atau ‘komprehensif’. Maksud integralitas di sini ialah menyatunya aspek substansi (maknawi, keyakinan) dan praktek nyata kehidupan kita (aplikasi). Atau, lebih populer di kalangan kita dengan sebutan menyatunya dua aspek sekaligus; aspek substantif dan aspek formalistik. Kedua aspek ini tidak boleh didikotomi.

Contohnya begini. Pada surat Al-Mulk, ayat 1-5 terbaca di atas, Allah SWT mengajarkan kita tentang ciptaanNya yang paripurna dan maha dahsyat. Persis seperti yang tertera pada surat Alu ‘Imran, ayat 190-194, tentang “ulul albab” yang merenung tentang keagungan Allah SWT dalam ciptaanNya. Semua fenomena keagungan Allah SWT, yang terbentang luas dalam cakrawala ayat-ayat kauniyahNya harus dikembalikan kepadaNya. Oleh karena semua itu kembalinya kepada Allah SWT (Al-Khaliq), maka segala pujian keagunganpun hanya ditujukan kepada Allah, bukan kepada ciptaanNya (makhluq). Pujian keagungan dalam bentuk tahmid, tasbih,dzikir sampai pada tingkat penyembahan (ibadah) “haram” ditujukan kepada alam.

Kesadaran dan keyakinan kita akan keagungan Allah SWT dalam ciptaanNya, itulah yang dimaksud dengan “substansi” keimanan (domain keyakinan). Sementara lantunan pujian syukur, tahmid, dzikiri sampai pada peribadatan sebagai ekspresi penyerahan diri kepadaNya kita sebut sebagai “formalitas” keimanan (domain praksis). Keduanya tidak boleh dipisah-pisahkan (dikotomi) apalagi dikontradiksikan. Inilah sesungguhnya makna “syumuliyah”.

Inilah permasalahan terbesar umat manusia sejak generasi Nabiyiyullah Adam ‘alaihissalam. Yaitu permasalahan yang menyangkut persepsi tentang “Tuhan”, “alam”, “manusia” dan “kehidupan”. Atau para pemikir muslim menyebutnya sebagai “worldview” (al-Tashawwur al-Islamy; Ru’yatul Islam lil wujûd). Dengan paradigma semacam ini pula tidaklah mungkin seorang muslim akan mengatakan “Ndak apa-apa tidak shalat, yang penting saya berbuat baik.” Atau ungkapan yang tidak jarang saya simak dari seorang profesor ketika masih kuliah di pascsarjana dulu, “Saya yakin Islam yang benar, tapi saya tidak tau kalau Kristen itu salah!.” Atau barangkali ada yang berkata,”yang penting saya sholeh secara pribadi, perkara ada orang kelaparan itu bukan urusan saya.” Atau “Gak apa-apa to saya jadi pelacur, yang penting ikhlas kok, gak pakai korupsi”. Na’udzubillah min dzalik.

Di antara konsekuensi dimensi syumuliyah keimanan kita ialah menerima seluruh isi dan kandungan Al-Qur’an termasuk penjelasan-penjelasan Rasulullah SAW dalam hadis shahihnya sekaligus. Kita tidak diperkenankan untuk memilah-milah mana ayat-ayat atau hadis-hadis yang sesuai dengan kepentingan kita, lalu meninggalkan sebagian yang lain. Atau dalam sikap hanya menerima Al-Qur’an saja, ataupun hadis saja. Sikap keimanan yang ambivalen dan dikotomis dikecam oleh Allah SWT dalam ayat di berikut ini :

{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا. أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا. وَالَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[33]

Agar kita tidak menjadi manusia yang terbelah kepribadiannya (split personality), hidup dikotomis dan parsial, hendaklah kita selalu ingat bahwa iman dalam Islam mengajarkan kita tiga dimensi sekaligus : keyakinan yang kokoh dalam hati, pernyataan verbal pada lisan yang jujur dan pembuktian dengan amal kebaikan organ tubuh kita. Wallahu A’alam bi al-shawab.

Agar tidak menjadi manusia yang terbelah kepribadiannya (split personality), hidup dikotomis dan parsial, hendaklah selalu ingat bahwa iman dalam Islam mengajarkan kita tiga dimensi sekaligus : keyakinan yang kokoh dalam hati, pernyataan verbal pada lisan yang jujur dan pembuktian dengan amal kebaikan organ tubuh kita. Wallahu A’lam bi al-shawab.


1 Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyah, Kitab al-Iman (Beirut: Dar Al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1414 H), Cet. IV, hal. 151-152

[2] Lihat kitab Tauhid Syaikh Sholih Al-Fauzan.

[3] Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa, VII/195. Lihat juga, Muhammad Ba Karim Muhammad Ba Abdullah, Wasathiyatu Ahlis Sunnah Baya Al-Firaq, hal. 335-336

[4] Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, I/139

[5] HR Muslim

[6] HR Muslim

[7] Al-Isra’ :85

[8] Al-Imam Al-Syaukani, Fath al-Qadir, jilid IV, hal. 347. Lihat al-Maktabah al-Syamilah.

[9] HR Muslim. Lihat Al-Maktabah al-Syamilah : Shahih Muslim, hadis nomor 5115, Bab : ‘Ardl Maq’ad al-Mayyit min al-Jannati aw al-Nar ‘alaih, Juz : 14, Hal. 31.

[10] Al-An’am : 116

[11] Yunus : 35-37

[12] Al-Maidah : 3

[13] Al-Nisa : 65

[14] HR Tirmidzi, dari sahabat Jabir Ibn Abdillah radliyallahu ‘anh

[15] Al-Nahl : 78

[16] Al-Baqarah :1-3

[17] Dr. Ibrahim Muhammad Ibn Abdullah Al-Buraykan, al-Madkhal li Dirasat al-Aqidah al-Islamiyah ‘ala Madzhab ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadl: tp., tt. ), Cet. hal. 55.

[18] Lihat : Al-Maktabah Al-Syamilah,Syaikh Albany, Silsilah al-Ahadit al-Shahihah, I/337

[19] Dr. Ibrahim Muhammad Ibn Abdullah Al-Buraykan, al-Madkhal…Hal. 57.

[20] Luqman : 34

[21] Al-Rum : 1-5

[22] Ibnu Jarir al-Thabary, Tasir al-Qur’an al-Karim, Jilid 20, hal. 60

[23] Drs. Yunahar Ilyas, Lc., Kuliah Akidah Islam,(Yogyakarta: LPPI UMY, September 2002), Cet. 7, Hal. 7-8

[24] Alu ‘Imran : 179

[25] Al-‘An’am : 59

[26] HR Abu Dawud dari Abu Hurairah). Lihat, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Thibb,(Beirut: Dar El-Fikr) Vol. III, Hal. 229, tanpa lafazh “عَرَّافًا”. Redaksi hadis tertera di atas diriwatkan oleh Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, (Beirut: Dar El-Fikr) Vol. II, Hal. 429.

[27] Al-Baqarah : 208

[28] Luqman : 20

[29] Al-Mulk : 1-5

[30] Alu ‘Imran : 190-194

[31] Al-Ahzab :72

[32] Al-An’am : 162

[33] Al-Nisa’: 150-152