Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.[2]
Pengantar
Pada acara pagi ini, 8 Agustus 2008, dalam rangka membersamai mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Magelang, saya diberi amanah untuk menyampaikan materi yang berkenaan dengan kaum intelektual dan masalah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam term of reference yang ditulis oleh panitia terbaca bahwa pertautan antara rasa kebangsaan dan paham kebangsaan akan melahirkan semangat kebangsaan dalam wujud nyata membela dan berkorban bagi kepentingan bangsa dan negara. Semangat kebangsaan ini dapat mempersatukan segala perbedaan. Semangat inilah yang kian hari makin rapuh karena berbagai faktor internal dan eksternal bangsa itu sendiri. Lalu di manakah posisi kita, intelektual muda muslim? Apa kontribusi yang seharusnya kita dedikasikan kepada bangsa kita yang baru saja merayakan satu abad kebangkitannya?
Membaca resume TOR panitia tersebut, dalam forum ini ada baiknya saya mengajak rekan-rekan untuk kembali mendiskusikan setidaknya dua hal; menentukan starting point (munthalaq) dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara serta relevansinya dengan konsep umat; dan potret seorang intelektual muda muslim sebagai pilar utama dalam mewujudkan bangsa yang berkarakter.
Spirit Bukit Shafa : Afirmasi atas Pandangan Hidup Islam
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang telah diperintahkan (kepadamu wahai Muhammad) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik!”.[3] Inilah perintah Allah s.w.t. yang mengakhiri masa dakwah sirriyah (secara rahasia, tersembunyi) sekaligus sebagai deklarasi dakwah pada tataran publik (jahriyah).
Rasululllah naik ke bukit Shafa. Dengan suara lantang beliau berseru “ya shabâhah!”. Seruan ini familiar di kalangan masyarakat Arab sebagai warning kedatangan serangan dari pihak luar. Tidak seorangpun yang lalai. Kawan dan lawan, semuanya bergegas berkumpul di hadapan manusia agung, Muhammad s.a.w. Beliau berkata:”Wahai Bani ‘Abdul Muthalib! Wahai Bani Ka’ab! Jika ku katakan kepada kalian bahwa,di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang hendak menyerang kalian, apakah kalian percaya?”. Secara aklamasi mereka menjawab, “Ok, kami percaya wahai Muhammad! Sungguh kami tidak pernah mendapatimu berdusta walau sekali saja.” “Baik! jika demikian, maka ketahuilah sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan untuk kalian tentang adanya adzab yang berat.” Pernyataan tersebut segera disambut oleh Abu Lahab dengan arogan, “celaka kau wahai Muhammad! Apakah hanya untuk mengatakan itu kau kumpulkan kami di tempat ini?!. Melalui Jibril ‘alaihissalam Allah SWT menegaskan kebenaran rasulNya : Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya pasti binasa”[4]
Narasi sejarah ini menjelaskan hal yang sangat penting tentang worldview (al-tashawwur al-Islamy; ru’yatul Islam lil wujûd) seorang muslim dan bangsa muslim yang khas. Sebuah titik tolak peradaban universal yang kontra paganisme dan rasialisme etnik, tidak tersekat oleh kekerdilan suku, ras, masyarakat, budaya ataupun batas-batas geografis, sebagaimana universalitas Islam yang difirmankan oleh Allah SWT : “Dan tidalah Kami mengutusmu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta!”.[5] Potret bangsa muslim, tidak boleh tidak, harus sesuai dengan karakteristik dasar Islam itu sendiri; Rabbaniyah (Allah Oriented pada dimensi sumber ajaran dan tujuan); insaniyah-‘alamiyah (universal dan kompatibel dengan aspek kemanusiaan pragmatis); al-‘adl al-muthlaq (berkeadilan, anti tirani dan kezaliman apa dan siapapun); al-tawâzun bayna al-fard wa al-jamâah (keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial); tsabât wa al-tathawwur (kombinasi serasi antara perkara konservatif dan kemajuan zaman).
Sirah Nabawiyah : Cermin Membangun Karakter Bangsa
Karakter secara leksikal berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.[6] Dengan demikian, karakter bangsa berarti yang membedakan kita dengan bangsa lain pada aspek-aspek tersebut.
Karakter sebuah bangsa terbentuk melalui perjalanan hidup; pengetahuan, sistem keimanan, ideologi, pengalaman sejarah serta penilaian mereka terhadap sejumlah pengalaman tersebut. Jadi, kepribadian atau karakter bangsa merupakan hasil interaksi totalitas bangsa tersebut dengan berbagai peragkat dasar kemanusiaan yang dimilikinya. Karakter bukanlah sekedar konstruksi nalar bersama. Karakter merupakan titik akumulasi di mana nalar, kesadaran moral (konsep haq dan bathil, khair dan syarr) dan kesucian jiwa bertaut, memancarkan cahaya kehidupan dan menghadirkan pencerahan jiwa yang konstruktif bagi alam semesta, rahmatan lil’alamin.
Batasan makna karakter terbaca menginformasikan kepada kita tentang pentingnya bercermin pada sejarah, terlebih sirah nabawiyah. Rekonstruksi dan reaktualisasi pemaknaan sejarah kenabian menjadi cermin penting dalam menata ulang bangunan karakter dan kepribadian bangsa kita yang semakin hari semakin pudar. Dari perspektif ini penulis mengelaborasi karakteristik kebangsaan kita.
Ketika dakwah Rasulullah s.a.w. tak lagi terbendung dengan berbagai strategi perlawanan dan rekayasa opini publik masyarakat Arab masa itu, ditawarkan beberapa pilihan yang menggiurkan kepada Rasulullah .s.a.w.; harta, tahta dan wanita. Bahkan sampai pada opsi kompromi teologis dengan secara bergantian menyembah tuhan masing-masing. Semuanya ditolak!. Beliau dengan tegar menyatakan konsisten menjalankan ajarannya di jalur ‘kultural’ dengan menata ulang visi ketuhanan masyarakat Arab, visi kemanusiaan, visi tentang hidup dan visi tentang alam tercipta yang telah terkontaminasi sedemikian jauh dengan virus-virus paganisme dan rasialisme etnik masyarakat Arab lalu mengisinya dengan tauhid sebagaimana grand design dakwah para Nabi sebelumnya. Al-Imam Ibnu Qayyim menyebutnya sebagai proses al-takhliyah qabla al-tahliyah; pengosongan diri dari segala hal yang kontradiktif dengan nilai-nilai luhur Islam sebelum berfesona dengannya.
Di sini kita belajar untuk menjadi bangsa yang kritis (critical society), bukan saja sebagai individu. Kita dituntut secara massif untuk mengkonservasi nilai-nilai fundamental keimanan, keislaman dan keindonesiaan kita di tengah serbuan pasar ideologi kontemporer yang destruktif atas kemanusiaan sejagad. Dalam konteks ini, barangkali, kita perlu melakukan perlawanan bersama atas berbagai varian neo kolonialisme dan imperialisme global yang menggerogoti organ vital kepribadian masyarakat kita; izzah sebagai bangsa muslim! Inilah inti ajaran tauhid, melawan tirani (thagut) dan reorientasi penghambaan (‘ubudiyah) hanya kepada Allah s.w.t. (tauhid). Visi kehidupan tauhidik ini berlawanan secara diametral dengan paganisme kekinian yang mengeksploitasi kemanusiaan kita. Kita sebut saja visi ini sebagai visi tauhidik.
Visi ini berimplikasi lebih jauh pada potret dan orientasi bangsa muslim yang universal dan kosmopolitan. Dalam struktur kepribadian bangsa kita, dengan perspektif kesatuan Pencipta dan ciptaan (wihdatul Khaliq wa al-khlaq) dan kesatuan kemanusiaan (wihdat al-basyariyah), manusia tidak lagi dipandang berdasarkan paradigma etnik dan religio-kultural. Tidak pula dipilah berdasarkan sosio-geografisnya. Satu-satunya parameter yang kompatibel dengan semangat tauhid ialah ketaqwaan yang aktual dalam tataran kehidupan pribadi, sosial serta berimplikasi positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara. [7]
Wajah bangsa muslim yang kosmopolitan dan universal ditegakkan atas prinsip-prinsip moral yang menjadi konsensus bersama bagi segenap komunitas yang berada di teritorial Islam. Dalam hal ini, sekali lagi, Rasulullah s.a.w. tidak membeda-bedakan muslim-non muslim. Semua menjunjung tinggi common flatform yang telah disepakati. Lihatlah klausal-klausal yang tertera pada Piagam Madinah (mîtsâq al-Madînah), yang menurut para pakar sejarah dan tata negara merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Keadilan dijunjung tinggi. Hidup egaliter menjadi nuansa keseharian. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pernik-pernik peradaban kosmopolitan dan universal ini hanya dapat dicapai oleh Islam, mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya di dunia. Rasulullah s.a.w. menegaskan kehancuran umat terdahulu karena mempermainkan keadilan. Keadilan meletakkan manusia sejajar, tanpa memandang status dan jabatan. [8]
Pada tataran relasi antar-manusia dengan ragam keyakinan yang bebeda, Al-Qur’an Al-Karim mengajarkan kita untuk tidak menjadi masyarakat yang kerdil, tidak ekslusif sebagaimana doktrin rasialisme kaum Yahudi “the people of God” (sya’bullâh al-mukhtâr).[9] Bahkan dalam tataran keyakinan sekalipun, Islam tak pernah menerapkan ‘paksaan’ dan intimidasi teologis sebagaimana fakta sejarah abad Pertengahan dalam kehidupan Gereja. Islam mengajarkan toleransi yang luhur atas dasar tanggungjawab di hadapan Allah s.w.t. [10]
Prinsip-prinsip keadilan dan apresiasi yang tinggi terhadap fakta pluralitas masyarakat telah menjadikan masyarakat profetik Madinah tampil melampaui zamannya yang sarat dengan tribalisme Arab. Ini pula yang berimplikasi pada kohesivitas antar kelompok dan individu, terlebih sesama kaum beriman sebagaimana dicontohkan dalam catatan mu’âkhât (persaudaraan) Muhajirin dan Anshar.
Kohesivitas individu dan sosial generasi awal (salaf) di masa Rasulullah s.a.w yang sangat kokoh karena frekuensi dan basis spiritual yang sama di antara mereka. Modal spiritual (quwwah rûhiyah) ini pula yang dicatat oleh sejarah dalam membangun awal peradaban Islam yang agung. Peradaban dengan visi Uluhiyah yang sangat kental. Pembangunan dua masjid; Quba’ dan Nabawi menjadi saksi sejarah kokohnya basis spiritual tersebut. [11]
Terakhir, bangsa muslim adalah bangsa apresiatif terhadap ilmu pengetahuan. Dengan penalaran yang lain, dapat dijelaskan bahwa ajaran Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah s.a.w. mengevakuasi manusia dari keterpurukan “fase mitologi” menuju fase bermartabat yang berbasis ilmu dan pengetahuan. [12]Dari perspektif ini kita memahami dengan baik bahwa arpresiasi dan pujian sebagai “Ulul Albab”[13] dapat diraih tatkala segala potensi akal dan spiritual yang kita miliki didedikasikan untuk memahami ayat-ayat atau tanda keagungan Allah s.w.t., bukan untuk dimitoskan, apalagi disembah. Wahyu pertama “Iqra’” memberikan landasan kokoh terhadap dinamika ilmu pengetahuan dalam sejarah panjang peradaban Islam kemudian. Cermati pula kisah ahlu shuffah yang setia menimba ilmu setiap saat kepada Rasulullah s.a.w. Di sini kita memahami bangsa muslim ialah bangsa dengan etos ilmu yang tinggi.
Peran Intelektual Muda Muslim
Islam memandang pemuda sebagai penopang pilar utama transformasi sebuah bangsa. Lihatlah Rasulullah s.a.w. Pada usia 15-20 tahun beliau telah terlibat berbagai peristiwa militer dan memainkan peran diplomatik penyelesaian sengketa masyarakat Arab. Bahkan pada usia yang sangat dini (12 tahun), beliau melakukan perjalanan bisnis ke Syam (
Al-Qur’an juga bercerita kepada kita tentang Ashab al-Kahfi yang tangguh.”Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita Ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambah pula untuk mereka petunjuk”[14].
Al-Qur’anpun berkisah tentang pemuda Ibrahim a.s. yang bermental baja dalam membasmi berhala, tapi juga sosok yang sangat santun dalam berdialog dengan kaumnya. Beliau penjadi pilar utama perubahan kaumnya, bahkan menjadi sentral perhatian kaumnya,”Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim".[15] Demikian pula tentang sosok Nabiyaullah Ismail a.s. dan nabiyullah Yusuf a.s. Mereka adalah pemuda-pemuda tangguh dan tokoh transformasi umatnya.
Dengan demikian sesungguhnya kita memiliki pijakan historis berdasarkan penuturan Al-Qur’an yang terbuktikan, bukan sekedar apologi teologis yang romantis. Maka, visi tauhidik yang telah penulis sampaikan pada bagian terdahulu hendaklah dapat mentransformasikan setiap individu di antara kita untuk hadir di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kontribusi terbaik serta karakter mulia yang membebaskan kita dari segala kungkungan dan tirani sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan tirani intelektual itu sendiri. Semua itu dapat kita rumuskan pada atribut intelektual muda muslim berikut ini : Pertama, memahami dan berpegang teguh pada ajaran tauhid serta komitmen yang utuh kepada Allah s.w.t. (Islamic world-view, a-tashawwur al-Islamy). Kedua, menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah s.w.t. Dalam konteks masyarakat manusia, penolakannya itu berarti emansipasi dan restorasi kebebasan esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia, supaya komitmennya pada Allah menjadi utuh dan kukuh. Ketiga, ia bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat-istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya. Bila dalam penilaiannya ternyata terdapat unsur-unsur syirik dalam arti luas, maka ia selalu bersedia untuk berubah dan mengubah hal-hal itu agar sesuai dengan pesan-pesan ilahi. Manusia-tauhid adalah progresif karena ia tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif. Ia berinteraksi dengan berbagai produk budaya dan peradaban asing yang antagonis dengan Islam.Keempat, tujuan hidupnya amat jelas. Kelima, visi kehidupan yang jelas tentang kehidupan yang akan dibangun bersama manusia lainnya; hablun minallah dan hablun minannas (keseimbangan dimensi vertikal dan horisontal).Keenam, seorang intelektual muda muslim harus terlibat aktif dalam transformasi masyarakat, tidak menjadi tawanan menara gading yang jauh dari penderitaan umatnya.[16] Wallahu A’lam bi al-shawab.
[1] Makalah disampaikan pada acara “Sepekan Bersama Mahasiswa Baru 2008 Universitas Muhammadiyah Magelang”, Jum’at 8 Agustus 2008.
[2] Anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2005-2010/Direktur Lembaga Bahasa Arab & Studi Islam “Ma’had Ali Bin Abi Thalib” Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[3] QS. Al-Hijr [15] : 94
[4] HR Bukhari-Muslim
[5] QS Al-Qalam [68] : 52
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 445
[7] Al-Hujurat : 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Baca pula Alu ‘Imran : 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
[8] HR Bukhari Muslim
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ, لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
يا أيها الناس ! إن ربكم واحد و إن أباكم واحد ، ألا لا فضل لعربي على عجمي ولا عجمي على عربي و لا أحمر على أسود و لا أسود على أحمر إلا بالتقوى ( إن أكرمكم عند الله أتقاكم )، ألا هل بلغت ؟ قالوا : بلى يا رسول الله ! قال :فيبلغ الشاهد الغائب (رواه البيهقى وصححه الألباني)
[9] Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
[10] Q.S. Al-Baqarah : 256
لَاإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Lihat pula Q.S. Al-An’am : 108
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُون
[11] Q.S. Al-Taubah : 108-109
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ. أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين
[12] Perhatikan respon Rasulullah s.a.w ketika mendapat informasi tentang sikap sebagian sahabat tentang gerhana yang terjadi (HR Bukhari-Muslim) :
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَصَلُّوا."وفى رواية : فَاذْكُرُوا اللَّه
[13] Lihat Q.S. Alu Imran : 90-91
[14] Q.S. Al-Khf : 13
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
[15] Q.S. Al-Anbiya’ : 60 قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
[16] Q.S. Al-Tawbah : 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيم